Senin, 29 Maret 2010

TERLENA KHAYALAN

Perlahan aku menatap langit siang ini, ada harapan, ada ketidakjelasan, ada kecemasan...
Sambil bersimbah terik mentari, hati bergumam...aku sudah di sini...! Waktu tak menggubrisku seberapa peluangnya menyadarkan aku dari tatapan makna ke arah dirgantara nan aneka suasana. Sementara terbuai kenangan, aku coba mengukir sejarah hari ini dengan kecenderungan mengabadikannya pada setiap orang yg kujumpai hari ini tanpa kututupi keroposnya jiwaku. Buang malu jauh, sejauh mataku tak mampu menangkap siluet pun sinyal se-iota.
Akan kecemasan, buatlah hatiku berkreasi berkat orang-orang hari ini berpapasan denganku.
Akan ketidakpastian, naungilah sisi gelapku agar keseimbangan hidup terpancar, dan jangan biarkan itu pergi...karena aku butuh.
Akan harapan, berilah aku topangan, tapi janganlah aku berharap terus...
Aku harus bangkit, bukan karena uluran tangan sesama hari ini menarikku dari ketimpangan... namun aku punya asa yg sedari lahir sudah kupunyai.
Lalu dari mana memulainya? Apakah cuma menatap langit? Apakah memandang jarum jam tanpa aktivitas? Jarum jas saja bergerak, malah aku tidak bergerak..?
Lamunanku dikerumuni aneka cerita gampangan.. enak diulas, senyum sesekali..!
Lalu seketika buyar karena lengkingan ringtone ponsel tanda sms.. kubaca.. 'segra ke kebun..'

Tanpa ba bi bu..., langsung meluncur ke arah yg ditunjuk sms. Akhirnya aku 'bergerak' juga hari ini. Buat lamunanku, besok datang lagi ya..! Jangan lama-lama karena aku juga harus bergerak!!
hehehe...

TENTANG SEMANGAT

Hampir tiap hari aku temui 2 orang bocah usia SD melewati Jln Woloare A-Potu di jam yg sama sepulang sekolah sambil memikul seonggok sapu lidi di pundak. Semulanya aku anggap biasa saja. Namun karena pemandangan itu sering berulang, sehingga aku merasa wajib mengapresiasikan dlm permenungan ringan. Benakku dicoreng inti perjuangan, rutinitas, dan semangat yg terpancar dari 2 bocah itu. Bayangkan, tiap hari di siang terik, pulang sekolah msh sempatkan diri menjajakan sapu sealur jalan yg dilalui keduanya. Ada rasa iba dlm hati, namun dipudarkan pemikiran akan pembelajaran perjuangan dlm diri bocah itu.
Belajar dari rutinitas dua bocah tadi, sebenarnya aku mengangkat 'semangat' yg ditampilkan. Semua pasti setuju denganku bila kata 'semangat' disematkan pd cerita 2 bocah penjaja sapu.

Lalu aku terinspirasi status sahabat di FB yg mengedepankan semangat agar selesai tepat waktu. Kedua hal itu sama-sama menjelaskan bagaimana kita harus semangat dalam melakukan suatu hal. 2 bocah punya semangat melakukan hal rutin tanpa menargetkan hal lain, kecuali benak kecilnya bertujuan orang mau beli sapu. Rasanya belum pikirkan uang yg didapat dr hasil jual sapu untuk dirinya, karna mungkin orangtua mereka membutuhkan uang dlm menghidupi keluarga. Ini aku gambarkan sebagai semangat yg tanpa pamrih, semangat yg murni. Walau mungkin semangat itu menjadi bekal buat hidupnya kelak. Pembelajaran ini sangat berarti untuk kita memacu diri dengan waktu, mengeluarkan tenaga, serta mengoptimalkan pikiran.
Selanjutnya aku berpaling sejenak pada sdr Eme, yg implisit menyiratkan semangat akan sesuatu hal yg sementara kita lakukan. Akan satu target yg direncanakan sebelumnya. Tidak mengurangi pemikirannya, aku terkesima seketika... memang perencanaan dibarengi semangat hasilnya puas. Cuma disitu? tentu tidak! Yang dikhawatirkan mungkin intensitas semangat itu sendiri, bisa saja menurun.
Semangat yg ingin aku katakan sekiranya berlangsung terus menerus sepanjang hidup. Pertanyaannya, apakah mampu? Persoalan mampu ataupun tidak tergantung pribadi. Semangat itu sendiri menegaskan 'hidup', dan hidup justru sangat dibanggakan lantaran semangat.
Sedikit biblis, sosok Yesus hadir karena 'semangat'(baca= spirit = roh kudus). Roh kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yg mahatinggi akan menaungi Engkau..(Lukas: kabar sukacita). Pada bagian lain, Roh kudus menjadi pendamping utama evangelisasi.

Kalau Yesus sendiri terlahir dari 'semangat', bagaimana dgn kita??

TANPA 'SEHARUSNYA' DAN 'SEANDAINYA'

Tidak mudah untuk hidup kini dan di sini! Masa lampau dan masa depan terus-menerus mengganggu kita. Masa lampau mengusik diri kita dgn rasa bersalah, sedangkan masa depan dgn kecemasan. Begitu banyak hal sudah terjadi dalam hidup kita. Banyak diantaranya yg membuat kita merasa tidak tenang, menyesal, marah, bingung atau sekurang-kurangnya mendua. Semua perasaan ini seringkali disertai rasa bersalah. Rasa bersalah itu berkata, 'Seharusnya engkau melakukan sesuatu yg lain, bukan yg telah kaulakukan itu; seharusoya engaku mengatakan sesuatu yg lain, bukan yg telah kaukatakan itu.'
'Seharusnya-seharusnya' seperti ini membuat kita terus merasa bersalah mengenai tindakan-tindakan kita di masa lampau dan menghalangi kita untuk sepenuhnya menghayati hidup kini dan di sini.
Namun, yang masih lebih buruk daripada rasa bersalah kita adalah kecemasan-kecemasan kita. Kecemasan itu memenuhi hidup kita dgn pertanyaan 'bagaimana seandainya..'. Bagaimana seandainya saya tidak cukup uang, bagaimana seandainya pecah perang, bagaimana seandainya... dan sebagainya. 'Seandainya-seandainya' ini dapat begitu memenuhi pikiran kita dan membuat kita tidak mampu melihat bunga-bunya yg indah di kebun dan anak-anak kecil yg bercandaria di jalan-jalan. 'Seandainya-seandainya' ini juga dapat membuat kita tidak mendengar sapaan simpatik seorang sahabat.
Musuh kehidupan kita adalah 'seharusnya' dan 'seandainya' ini. Ini adalah kekuatan-kekuatan yg menarik kita ke belakang, ke masa lampau yg tidak dapat diubah lagi, dan menyeret kita ke depan, ke masa depan yg tidak dapat diramalkan. Hidup yang sejati dihayati saat ini, kini, dan di sini.
Allah adalah Allah kini dan di sini. Allah selalu hadir pada saat ini, entah saat itu menyenangkan, menggembirakan ataupun menyedihkan. Ingat Yesus: 'Kalau kamu melihat Aku, kamu melihat Allah. Kalau kamu mendengarkan Aku, kamu mendengarkan Allah.' Itulah sebabnya Yesus datang untuk mengangkat beban-beban dari masa lampau dan kecemasan-kecemasan mengenai masa depan. Ia menghendaki agar kita menemukan Allah di tempat kita berada, saat ini, kini, dan di sini.
semoga.

AKTIF BERBUAT

Confucius pernah mengajarkan prinsip etika, 'Apa yang aku tidak ingin orang lain berbuat bagiku, demikian juga aku tidak mau melakukannya bagi orang lain.'
Hillel, seorang rabbi besar Yahudi pernah ajarkan prinsip etikanya, 'Apa yang kamu benci janganlah kamu lakukan bagi orang lain.'
Philo seorang tokoh Yahudi dari Alexandria mengajarkan, 'Apa yang membuat kamu menderita, jangan kamu lakukan itu pada orang lain.'
Socrates, orator Yunani mengajarkan, 'Perkara-perkara yang membuat engkau marah, jangan lakukan itu bagi orang lain'.
Pengikut filsafat Stoa menganut prinsip dasar, 'Apa yg tidak kamu inginkan, jangan lakukan pada orang lain.'

Perkataan tokoh-tokoh di atas sebenarnya mengandung kesamaan nada bicara yaitu berbentuk kalimat negatif yg diperjelas dengan istilah 'tidak boleh' atau 'jangan lakukan'. Tekanannya adalah pada kepasifan. Asal tidak berbuat apa-apa yang jahat kepada orang lain, berarti cukup baik.
Ajaran Yesus Kristus menekankan keaktifan berbuat. Kalau kita ingin dikasihi, kita harus aktif mengasihi orang lain.
'Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.'(Mateus 7 : 12).

Aku salut dgn Yesus yang mengaktifkan kita untuk berbuat(yg baik), dan tidak mengabaikan prinsip etika Confucius, Hillel, Philo, Socrates, dan Pengikut Stoa. Semuanya mengajarkan moral, perilaku sosial yang kadang tiap hari kita hadapi dengan sesama. Dan keaktifan berbuat mengundang kita untuk lebih memaknai hidup yang menghidupkan sesama.
Apakah kita sudah aktif untuk hal berbuat baik kepada orang lain? Ataukah kita bersedia mengharapkan orang lain melakukannya untuk kita?
Walahualam.

PERJALANAN(2)

'..Biarlah aku lakukan Sekarang..'
Permohonan yang halus sekaligus penegasan yang tulus. Karena sudah tahu jalan yang ditempuh itu hanya sekali, maka ada keinginan untuk melakukan/mengerjakannya sekarang. Kata 'sekarang' sendiri menyiratkan hal yg sedang berlangsung tanpa embel-embel. Ini bisa diartikan sebagai kans/peluang, yang seharusnya diraih. Patokannya mungkin pengalaman masa lalu yg sering kita abaikan, dan misteri pertanyaan besar di masa datang. Logikanya, daripada bengong, ya lakukan sekarang! Atau, kalau bukan sekarang, kapan lagi.. kalau bukan aku(kita), siapa lagi...
'...Pun jangan biarkan aku menunda atau mengabaikannya..'
Lanjutan dari moment sekarang, bukan akan datang, bukan sebentar lagi. Ingat, menunda itu mengisyaratkan janji. Dan janji sendiri adalah hutang. Apalagi mengabaikan sesuatu. Kalau sudah mengabaikan, berarti menyangkut perasaan. Bisa saja kita dibilang lamban, kurang tegas, bahkan plin-plan. Rentetan perjalanan memang butuh waktu dan pemikiran yang tepat, apalagi suatu yg namanya keputusan. Kecermatan dan kebijakan berpikir menjadi ukuran bilamana melanjutkan perjalanan hidup. Tak lupa pula, ini mengandung resiko dan keberanian. Berpikir dan bertindak sekarang memang tidaklah semudah yang aku tulis. Tanggung jawab membayangi tiap langkah perbuatan. Entah sekarang, atau yg akan datang. Menunda boleh, asal pertanggungjawaban atas penundaan itu yg dibaca orang lain. Saat-saat kritis perjalanan hidup bisa jadi ada di tahap ini. Mau pilih yang mana, menunda penuh tanggung jawab, atau melakukan sekarang dgn keberanian yg ada tanpa mengesampingkan tanggung jawab, atau bahkan lari?
'...karena mungkin aku tidak akan melewati jalan ini lagi..'
Kesadaran penuh akan moment sekarang melandasi olah perbuatan(baik) dilakukan tanpa menunda karena tahu jalan ini tidak akan aku lewati lagi.
Aku yakin, dalam perjalananku tentu meninggalkan jejak sesuai waktu kronologisnya. Tapi untuk menapaki lagi seperti pijakan yg pertama sudah susah. Terus melangkah adalah bijak. Dan lebih bijak lagi bila melangkah sesuatu yang baru berdasarkan jejak-jejak langkah sebelumnya.
Setiap kita melakukan hal yang baru setiap saat. Sementara berjalanpun kita juga berpikir dgn patokan memori langkah yang sudah-sudah, menjelaskan bahwa kita masih melangkah, kita masih di perjalanan, masih di pijakan yg lain tapi bentuk jejak masih punya kita. Lalu aku termenung sendiri, pertanyaan muncul: apakah aku masih melangkah? mana jejakmu?

habis

Minggu, 28 Maret 2010

PERJALANAN(1)

...'Aku akan melewati jalan ini hanya sekali, karenanya setiap perbuatan baik yang bisa aku lakukan/kerjakan, biarlah aku lakukan sekarang. Pun jangan biarkan aku menunda atau mengabaikannya... karena mungkin aku tidak akan melewati jalan ini lagi'...
Sederetan kalimat di atas terngiang di telingaku sejak awal ketika aku menemukannya. Berbagai pemikiran yg tidak pernah habis menjadi titik permenunganku selama ini. Boleh dibilang 'kalimat wajib' atau bisa pula dianggap motivator utama sepanjang hidup.
Aku coba mulai dari kalimat 'aku akan melewati jalan ini'. Kalimat ini menjelaskan bagaimana subjek manusia menapaki hidupnya dari kecil hingga dewasa dgn berbagai warna suasana. Ada hal duka, suka, sedih, senang bernaung di benak dan rasa. Kita akan berjalan terus seiring waktu. Dan tidak pernah tahu ada apa di depannya, walau kadang kita manfaatkan teropong hati dalam suatu perencanaan tapi belum bisa memastikan apakah akibat dari perjalanan itu. Yang pasti adalah kita sementara melangkah. Setiap kita, sadar ataupun tidak, melakukan suatu perjalanan apapun situasinya. Terkadang memori mencuat diantara perjalanan itu. Jalan ini adalah jalan yg kita miliki, entah melangkah sendirian atau bersamaan. Aku ingat D'Loyd: ...kemanakah jalan yang harus kutempuh agar kubahagia....
Inspirasiku bertemu di persimpangan saat sebuah keputusan diperlukan. Maka pada bagian lain D'Loyd minta petunjuk Tuhan(Oh Tuhan berikan petunjuk-Mu agar kujadikan pegangan hidupku).
Dan kembali ke aku. Sangat sekali ingin mengatakan bahwa jalanku(hidup) sudah benar. Lalu bagaimana dengan jalan yang dilalui orang lain? Pasti benar juga, karena itulah jalannya, hidupnya, alur ceritanya.

'Hanya sekali'
Ungkapan ini banyak arti. Aku, kau, kita semua lahir hanya sekali. Dikaitkan dgn penggalan pertama tadi berarti 'jalan yg aku lalui ini hanya sekali'. Aku tidak membantahnya. Ini menjadi dasar permenunganku yg menegaskan bahwa aku harus menyadari bahwa detik waktu tidak akan mundur, jarum jam tak mungkin kembali. Lantaran 'hanya sekali' kita sering memanfaatkan moment itu dengan sebaik mungkin. Dengan tidak menyepelehkan pengalaman yg sudah kita lalukan. Lalu, untuk apa?

'karenanya setiap perbuatan baik yg bisa aku lakukan/kerjakan, biarlah aku lakukan sekarang'
Kalimat ini sudah klop. Menekankan perbuatan baik(versi aku dan versi orang lain), karena moment yg hanya sekali..! Dan intinya dilakukan SEKARANG.!

bersambung